LEGALITAS PENDIRIAN RUMAH SAKIT SWASTA
PENGANTAR
Penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan ( termasuk rumah sakit) dalam rangka peningkatan kesehatan,
pemeliharaan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selain
merupakan tangung jawab Pemerintah juga merupakan hak bagi masyarakat untuk
ikut berperan serta. Meskipun masyarakat berhak untuk ikut berperan serta
secara nyata seperti mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit, tidaklah
berarti bahwa masyarakat diperbolehkan dengan sewenang-wenang atau semau-maunya
untuk mendirikan dan menyelenggarakannya.
Pemerintah selaku penyelenggara
pemerintahan dan penguasa negara berkewajiban untuk selalu menciptakan dan
memelihara ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Dan sebagai negara
hukum, setiap bentuk kegiatan yang dilakukan baik oleh Pemerintah sendiri
maupun oleh masyarakat harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Berbagai
faktor dan aspek yang terkait dengan akibat dari pendirian dan penyelenggaraan
suatu kegiatan perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan
baik agar tidak menimbulkan kerugian baik kepada manusia maupun kepada
lingkungan hidup sekitarnya. Untuk itu masyarakat harus tunduk dan patuh pada
ketentuan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang diatur oleh
Pemerintah. Dengan demikian untuk melakukan kegiatan pendirian dan
penyelenggaraan rumah sakit harus mengikuti prosedur perizinan yang ditetapkan
oleh Pemerintah
PENGERTIAN PERIZINAN
Mendapatkan pemahaman tentang
perizinan secara komprehensif janganlah terpaku pada satu definisi saja.
Berikut ini disampaikan beberapa pengertian perizinan, sebagai berikut:
1.Menurut Lembaga Administrasi Negara
1.Menurut Lembaga Administrasi Negara
Perizinan adalah salah satu bentuk
pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh
Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang
merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan. Izin
sebagai perbuatan hukum sepihak dari Pemerintah yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi si penerima izin perlu ditetapkan dan diatur dalam peraturan
perundangan agar terdapat kepastian dan kejelasan, baik yang menyangkut
prosedur, waktu, persyaratan, dan pembiayaan.
Menurut Prajudi Atmosudirdjo
Perizinan merupakan perbuatan hukum
yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi
pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan ( beschikking
). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang.
Perizinan ini merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan
daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan
positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan,
atau perorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang
dipergunakan oleh Pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai
keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan
kegiatan-kegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh Pemerintah.
Dikompilasi dari pendapat W.F.
Prins, E. Utrecht, dan Van Vollenhoven
Perizinan (vergunningen) merupakan perbuatan
yang menyebabkan suatu peraturan undang-undang menjadi tidak berlaku bagi suatu
hal yang istimewa. (Pengertian Dispensasi dari W.F. Prins) bilamana pembuat
peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga
memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing
hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan
tersebut bersifat suatu izin (vergunning). (Pengertian Vergunning dari E.
Utrecht)izin guna menjalankan sesuatu perusahaan dengan leluasa. (Pengertian
Lisensi dari W.F. Prins) bilamana orang-orang partikelir ( = swasta) setelah
berdamai dengan pemerintah, melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah.
(Pengertian Konsesi dari Van Vollenhoven). Berdasarkan pengertian perizinan
sebagaimana dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan knkritnya yaitu, bahwa
perizinan yang diberikan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang, dikeluarkan
dalam bentuk suatu keputusan tata usaha negara (beschikking). Keputusan tata
usaha negara (beschikking) ini oleh Utrecht menyebutnya ’ketetapan’, sedangkan
Prajudi Atmosudirdjo menyebutnya dengan ’penetapan’.Perbedaan menyebut
beschikking dengan ketetapan atau penetapan, oleh Jimly Asshiddiqie,
disampaikan gagasan untuk menyeragamkan penyebutannya dengan ’ketetapan’ atau
’keputusan’ bukan penetapan. Beliau berpendapat: Penetapan menghasilkan
ketetapan atau keputusan. Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan
administratif ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut ‘Keputusan’ atau
‘Ketetapan’, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan di
lingkungan pengadilan yang menggunakan istilah ’penetapan’ untuk sebutan bagi
keputusan-keputusan administrasi di bidang judisial. Istilah yang dipakai sebaiknya,
bukan penetapan tetapi ’Ketetapan’ yang sepadan dengan istilah ’Keputusan’.
Sedangkan penetapan adalah bentuk ’gerund’ atau kata benda kegiatannya, bukan
sebutan untuk hasilnya.”
Perlu disampaikan juga pengertian
ketetapan dari beberapa sarjana untuk mendapatkan pemahaman yang luas. Van der
Pot dan Van Vollenhoven mengatakan ”Ketetapan itu adalah suatu perbuatan hukum
yang bersifat sebelah pihak, dalam lapangan pemerintahan dilakukan oleh suatu
badan pemerintah berdasarkan kekuasaannya yang istimewa”. Oleh Y.W. Sunindhia
dan Ninik Widiyanti dijelaskan lebih lanjut definisi ketetapan dari Van der Pot
dan Van Vollenhoven tersebut yaitu, bahwa membuat ketetapan itu merupakan
perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ketetapan itu melahirkan hak dan/atau kewajiban
dan ketetapan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban itu disebut ketetapan
positif. Ketetapan itu merupakan perbuatan hukum yang bersifat sebelah pihak,
maka perbuatan hukum itu harus bersifat publiekrechtelijk yaitu berdasarkan
hukum publik, artinya bahwa perbuatan itu harus bersifat memaksa bukan mengatur
saja dan perbuatan yang memaksa itu pengaturannya terdapat dalam hukum publik
karena ketetapan itu hanya mencerminkan kehendak satu pihak saja, pihak yang
memerintah yaitu pihak pemerintah atau administrasi negara. Sedangkan Jimly
Asshiddiqie, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ketetapan itu merupakan
”keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara
administratif menghasilkan keputusan administrasi negara.” Berdasarkan penjelasan
tentang pengertian ketetapan sebagaimana disampaikan diatas, maka tentu akan
timbul pertanyaan, apakah ada ketentuan umum yang mengatur prosedur pembuatan
ketetapan / keputusan tata usaha negara. Philipus M. Hadjon, dkk., mengatakan
bahwa tidak ada ketentuan umum yang mengatur tentang tata cara pembuatan
keputusan tata usaha negara. Tiap bidang mempunyai prosedur tersendiri, dan
persyaratan tersendiri pula. Dalam bidang perizinan saja masing-masing
perizinan mempunyai tata cara dan persyaratan tersendiri. Contoh prosedur izin
mendirikan bangunan (IMB) berbeda dengan prosedur dan persyaratan untuk
memperoleh izin usaha. Selanjutnya izin usaha untuk berbagai jenis usaha pun
berjalan sendiri-sendiri. Meskipun begitu Hadjon, memberikan petunjuk untuk membuat
prosedur keputusan tata usaha negara. Suatu prosedur yang baik hendaknya
memenuhi tiga landasan utama hukum administrasi, yaitu landasan negara hukum,
landasan demokrasi, landasan instrumental yaitu daya guna (efisiensi,
doelmatigheid) dan hasil guna (efektif, doeltreffenheid).
IUS
CONSTITUTUM / HUKUM POSITIF PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien, jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian rumah sakit. Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai keputusan.
Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku sampai tulisan ini dibuat, pihak swasta yang akan mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap. Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:
Perizinan merupakan fungsi pengendalian pemerintahan terhadap penyelenggara kegiatan yang dilakukan oleh swasta. Pemberian izin sarana kesehatan merupakan akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat bahwa sarana kesehatan yang telah diberi izin tersebut telah memenuhi standar pelayanan dan aspek keamanan pasien, jadi perizinan sangat terkait dengan standar dan mutu pelayanan. Sehingga dalam pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit yang termasuk sektor kesehatan, tentu Menteri Kesehatan selaku pimpinan Departemen Kesehatan yang membidangi urusan kesehatan dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki kewenangan untuk membuat dan menetapkan tata cara perizinan pendirian rumah sakit. Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai keputusan.
Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku sampai tulisan ini dibuat, pihak swasta yang akan mendirikan rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap. Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:
Izin Prinsip / Izin Pendirian /
Pembangunan Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Masa berlaku izin ini selama 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) tahun kedepan.
Izin Operasional / Izin Penyelenggaraan
Sementara Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Dinas
Kesehatan Propinsi. Izin ini berlaku selama 2 (dua) tahun yang diberikan secara
pertahun.
Izin Tetap / Izin Penyelenggaraan
Tetap Rumah Sakit
Izin ini diperoleh dari Menteri
Kesehatan (teknisnya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik).
Masa berlaku izin ini selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memperhatikan ketentuan tentang perizinan saja. Ketentuan lain yang terkait dengan rumah sakit juga harus diperhatikan dan ditaati. Secara garis besar ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati tersebut, diantaranya sebagai berikut:
Pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memperhatikan ketentuan tentang perizinan saja. Ketentuan lain yang terkait dengan rumah sakit juga harus diperhatikan dan ditaati. Secara garis besar ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan ditaati tersebut, diantaranya sebagai berikut:
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
262/Menkes/Per/VII/1979 tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang
Medik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
084/Menkes/Per/II/1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang
Medik;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
157/ Menkes/SK/III/1999;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
282/Menkes/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
582/Menkes/SK/VI/1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1410/Menkes/SK/X/2003 tentang Penetapan Penggunaan Sistem Informasi Rumah Sakit
di Indonesia (Sistem Pelaporan Rumah Sakit) –Revisi Kelima;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit;
Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor
725/Menkes/E/VI/2004 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor
1425/Menkes/E/XII/2006 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Publik di
Lingkungan Departemen Kesehatan;
Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik Nomor 0308/Yanmed/RSKS/PA/SK/IV/1992 tentang Pedoman Teknis
Upaya Kesehatan Swasta di Bidang Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam
Negeri dan Penanaman Modal Asing;
Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.3.5.5797 Tahun 1998 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik
Spesialis, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Nomor HK.00.06.1.5.787 Tahun 1999;
Undang-undang dasar No 44 Tahun 2010
Tentang Rumah Sakit
KELENGKAPAN SURAT PERMOHONAN
PERIZINAN RUMAH SAKIT
Berdasarkan hukum positif sebagaimana disebut diatas, pihak swasta (yayasan atau badan hukum lain) yang akan mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tata cara dan persyaratan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut sebelum mengajukan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit kepada Menteri Kesehatan u.p. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Pengajuan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit disampaikan dalam bentuk surat permohonan dengan melampirkan kelengkapan berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebagai kelengkapan surat permohonan izin tetap, sebagai berikut:
Berdasarkan hukum positif sebagaimana disebut diatas, pihak swasta (yayasan atau badan hukum lain) yang akan mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit terlebih dahulu harus mempelajari dan memahami tata cara dan persyaratan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan tersebut sebelum mengajukan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit kepada Menteri Kesehatan u.p. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik melalui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Pengajuan permohonan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit disampaikan dalam bentuk surat permohonan dengan melampirkan kelengkapan berkas-berkas sesuai persyaratan. Sebagai kelengkapan surat permohonan izin tetap, sebagai berikut:
Daftar isian untuk mendirikan Rumah
Sakit
1. Rekomendasi dari Dinkes Propinsi
2. BAP RS dari Dinkes Propinsi
3. Surat pernyataan dari pemilik RS
bahwa sanggup mentaati ketentuan dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan
4. Izin UU Gangguan (HO)/ UPL-UKL
5. Struktur organisasi RSDaftar
ketenagaan medis, paramedis non medis
6. Data Kepegawaian Direktur RS:
7. Surat Izin Praktek (SIP)
8. Surat Pengangkatan sebagai Direktur
oleh pemilik RS
9. Surat Pernyataan tidak keberatan
sebagai Direktur dan penanggung jawab RS (asli bermaterai)
10. Data Kepegawaian Dokter:
11. Ijazah Dokter
12. Surat Penugasan
13. Surat Izin Praktik (SIP)
14. Surat Pengangkatan sebagai Tenaga
Dokter di RS oleh Pemilik (untuk tenaga purna waktu)
15. Surat Izin atasan langsung untuk
tenaga purna waktu
16. Surat lolos butuh untuk tenaga purna
waktu
17. Data Kepegawaian Paramedik dilampiri
Ijazah
18. Hasil pemeriksaan air minum ( 6
bulan terakhir)
19. Daftar inventaris medis, penunjang
medis dan non medis
Daftar tarif pelayanan medic
Denah-denah:
1. Denah situasi
2. Denah bangunan (1:100)
3. Denah jaringan listrik
4. Denah air dan air limbah
Akte Notaris pendirian badan hukum
Sertifikat tanah
Kemudian perlu diperhatikan bagi
permohonan izin tetap agar melampirkan izin operasional dan izin prinsip.
Sedangkan bagi permohonan izin operasional agar melampirkan izin prinsip.
KLASIFIKASI
RUMAH SAKIT
Berdasarkan bentuk pelayanan, rumah
sakit dibedakan jenisnya yaitu, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah
sakit umum adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar
dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan
perawatan secara rawat jalan dan rawat nginap. Rumah sakit khusus adalah tempat
pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik tertentu,
pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara
rawat jalan dan rawat nginap.
Rumah sakit umum pemerintah diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan:
Rumah sakit umum pemerintah diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan:
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit tipe ini memiliki
pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis luas.
2. Rumah Sakit Kelas BII
Rumah sakit tipe ini memiliki
pelayanan medik spesialis luas dan sub spesialis terbatas.
3. Rumah Sakit Kelas BI
Rumah sakit tipe ini minimal
memiliki 11 (sebelas) macam pelayanan medik spesialistik.
4. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit tipe ini minimal
memiliki 4 (empat) macam pelayanan medik spesialitik dasar.
5. Rumah Sakit Kelas D
Rumah sakit tipe ini minimal memiliki
pelayanan medik dasar.
Sedangkan untuk rumah sakit umum
swasta, klasifikasinya lain lagi. Klasifikasi rumah sakit umum swasta, yaitu:
1. Rumah sakit umum tingkat Utama
2. Rumah sakit tipe ini memiliki
pelayanan medik umum, spesialistik, dan subspesialistik
3. Rumah sakit umum tingkat Madya
4. Rumah sakit tipe ini minimal memiliki
4 (empat) pelayanan medik spesialisti
5. Rumah sakit umum tingkat Pratama
6. Rumah sakit tipe ini memiliki
pelayanan medik umum
PENAMAAN RUMAH SAKIT DAN
PERLINDUNGAN HUKUMNYA
Penamaan rumah sakit sering didapati memakai nama yang sama. Penamaan rumah sakit yang memakai nama yang sama dengan nama rumah sakit ditempat lain, adakalanya dapat memberikan pengaruh yang baik / positif, namun tidak jarang dapat menerima akibat yang tidak baik / negatif. Bila sebuah rumah sakit ditempat A bernama X diberitakan dimedia masa keunggulan dan kebaikannya, maka pengaruh pemberitaan itu dapat berpengaruh positif bagi rumah sakit yang memakai nama yang sama meskipun tidak berada dilokasi yang sama. Ini kalau pemberitaannya hal-hal yang baik. Bagaimana halnya bila pemberitaan yang sebaliknya. Tentu bisa-bisa mendatangkan kerugian bagi rumah sakit yang sebenarnya bukan rumah sakit yang dimaksud, hanya namanya saja yang sama. Kalau sudah begitu, bagaimana perlindungan hukumnya
Penamaan rumah sakit sering didapati memakai nama yang sama. Penamaan rumah sakit yang memakai nama yang sama dengan nama rumah sakit ditempat lain, adakalanya dapat memberikan pengaruh yang baik / positif, namun tidak jarang dapat menerima akibat yang tidak baik / negatif. Bila sebuah rumah sakit ditempat A bernama X diberitakan dimedia masa keunggulan dan kebaikannya, maka pengaruh pemberitaan itu dapat berpengaruh positif bagi rumah sakit yang memakai nama yang sama meskipun tidak berada dilokasi yang sama. Ini kalau pemberitaannya hal-hal yang baik. Bagaimana halnya bila pemberitaan yang sebaliknya. Tentu bisa-bisa mendatangkan kerugian bagi rumah sakit yang sebenarnya bukan rumah sakit yang dimaksud, hanya namanya saja yang sama. Kalau sudah begitu, bagaimana perlindungan hukumnya
Pengaturan penamaan rumah sakit
memang belum ada ketentuan hukumnya. Bila memperhatikan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek dan berbagai Peraturan / Keputusan Menteri Kesehatan
yang mengatur rumah sakit tidak mengatur perihal penamaan dan pendaftaran nama
rumah sakit. Namun demikian untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap
penyalahgunaan nama atau resiko yang tidak dapat diduga atas penggunaan nama
yang sama, sebaiknya pemilik rumah sakit mendaftarkan nama rumah
sakitnya pada instansi yang
berwenang.
Penyelenggaraan rumah sakit
merupakan kegiatan pelayanan ’jasa’ di bidang kesehatan. Oleh karena itu nama
rumah sakit dapat dikategorikan juga sebagai merek jasa. Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menjelaskan pengertian tentang
merek jasa, yaitu:
”Merek jasa adalah merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.”
Penamaan rumah sakit dapat memakai
nama-nama apa saja yang disukai oleh pemilik rumah sakit. Namun demikian dalam
penamaan rumah sakit perlu memperhatikan etika penamaan. Berdasarkan Surat
Edaran Nomor : 0419/Yan.Kes/RSKS/1984 tanggal 1 September 1984 tentang
Pemberian Nama Rumah Sakit, diantaranya menyebutkan bahwa akhir-akhir ini banyak
penggunaan nama orang yang masih hidup untuk nama rumah sakit dan mengingat
bahwa nama itu merupakan monumen, tapi juga dapat merupakan reklame bagi
seseorang (yang menyalahi segi Etik Kedokteran), maka dianjurkan agar pemberian
nama rumah sakit tidak mempergunakan nama orang yang masih hidup lebih-lebih
bila memakai nama yang punya ataupun yang berpraktek disitu. Dalam memilih nama
rumah sakit hendaknya diambil nama dari tokoh pejuang, tokoh pembangunan
terutama di bidang kesehatan yang sudah almarhum untuk mengingat dan menghargai
jasa-jasanya, dengan menyesuaikan besar kecilnya jasa tokoh tersebut dengan
besar/kelasnya rumah sakit atau nama-nama yang netral yang punya arti kasih
sayang sesama manusia.
IUS CONSTITUENDUM PERIZINAN
PENDIRIAN RUMAH SAKIT
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit akan mengalami perubahan. Oleh karena sampai saat ini peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari PP 38/2007 tersebut masih belum ditetapkan, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit masih menggunakan peraturan lama yang masih berlaku.Disamping itu, Pemerintah juga sampai saat ini telah berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit (RUU Rumah Sakit). Salah satu peluang peraturan-peraturan yang lebih spesifik akan dipayungi oleh RUU Rumah Sakit tersebut, yang dalam waktu tidak lama lagi akan dibahas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit akan mengalami perubahan. Oleh karena sampai saat ini peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari PP 38/2007 tersebut masih belum ditetapkan, maka ketentuan perizinan pendirian rumah sakit masih menggunakan peraturan lama yang masih berlaku.Disamping itu, Pemerintah juga sampai saat ini telah berusaha menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit (RUU Rumah Sakit). Salah satu peluang peraturan-peraturan yang lebih spesifik akan dipayungi oleh RUU Rumah Sakit tersebut, yang dalam waktu tidak lama lagi akan dibahas antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
PENUTUP
Melihat pada uraian yang disampaikan diatas, dimana dalam perizinan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit pada akhirnya masih terpusat seluruhnya pada Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan zaman dimana semakin kuatnya arus otonomi daerah pada akhir-akhir ini, banyak tuntutan perubahan pengaturan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit. Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten / kota mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tanpa harus lagi menunggu izin dari Pemerintah Pusat, sehingga bisa lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. Namun demikian hal itu sampai tulisan ini diturunkan, masih belum dapat terwujud karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu. Sehingga berbagai ketentuan peraturan yang disebutkan diatas masih berlaku dan harus ditaati oleh siapa saja yang akan/telah mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit.
Melihat pada uraian yang disampaikan diatas, dimana dalam perizinan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit pada akhirnya masih terpusat seluruhnya pada Menteri Kesehatan. Seiring dengan perkembangan zaman dimana semakin kuatnya arus otonomi daerah pada akhir-akhir ini, banyak tuntutan perubahan pengaturan pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit. Pemerintah Daerah baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten / kota mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan izin pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit tanpa harus lagi menunggu izin dari Pemerintah Pusat, sehingga bisa lebih efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. Namun demikian hal itu sampai tulisan ini diturunkan, masih belum dapat terwujud karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan untuk itu. Sehingga berbagai ketentuan peraturan yang disebutkan diatas masih berlaku dan harus ditaati oleh siapa saja yang akan/telah mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit.